KETIKA dunia menahan napas menyaksikan ketegangan memuncak antara Amerika Serikat dan Iran, satu pernyataan dari Donald Trump memunculkan harapan sekaligus kegelisahan: “Kami akan menunggu dua minggu. Ini adalah peluang terakhir diplomasi.” Sebuah kalimat singkat, tapi sarat muatan geopolitik yang bisa menentukan masa depan Timur Tengah—bahkan mungkin masa depan dunia.
Pernyataan ini muncul setelah Iran membalas serangan Israel atas fasilitas konsulatnya di Damaskus. Balasan itu memicu ketegangan regional yang melibatkan proksi, misil, dan kemungkinan eskalasi militer penuh. Namun, alih-alih langsung membalas secara militer, Amerika Serikat justru menunjukkan sinyal menahan diri. Tak lain karena Trump tahu: serangan balasan bisa menjadi titik tak kembali bagi stabilitas kawasan.
Dua Pekan yang Menentukan
Trump bukan tokoh yang dikenal sabar atau bijak dalam konflik internasional. Tapi kali ini, langkahnya mencengangkan banyak analis. Ketika tekanan dari Kongres, sekutu Israel, bahkan kelompok hawkish di Partai Republik meningkat, Trump justru melempar bola ke arah diplomasi. Mengapa?
Jawabannya sederhana: dunia berubah. Amerika sudah lelah perang. Perang Irak, Afghanistan, dan ketegangan dengan Korea Utara sudah cukup menguras anggaran, nyawa, dan kredibilitas. Kini, dengan ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dan harga energi dunia melambung akibat konflik di Laut Merah, membuka front baru melawan Iran akan menjadi bunuh diri strategis.
Dalam situasi ini, dua minggu menjadi simbol dari pilihan: perang atau perdamaian. Tapi waktu itu bukan jaminan. Dua minggu hanyalah ilusi stabilitas jika tak digunakan dengan cerdas.
Diplomasi yang Dipertaruhkan
Langkah Trump memberi waktu kepada PBB, Uni Eropa, dan negara-negara Teluk untuk mendorong Iran dan Israel ke meja perundingan. Namun pertanyaannya: apakah cukup waktu dan cukup kehendak?
Iran tentu tak sudi tunduk begitu saja. Negeri para Ayatullah itu telah membangun jaringan proksi dan pengaruh dari Lebanon hingga Yaman. Serangan balasannya ke Israel, meskipun terbatas, adalah bentuk penegasan eksistensi. Di sisi lain, Israel di bawah Benjamin Netanyahu tak mungkin diam, apalagi setelah sebelumnya konsulatnya dihantam rudal.
Namun, diplomasi tetap jalan terbaik. Bahkan pragmatisme Trump yang dikenal keras sekalipun tak menutup pintu perundingan. Langkah ini disambut hangat oleh negara-negara seperti Qatar, Oman, dan bahkan Turki yang ingin memainkan peran sebagai mediator regional.
Peran Indonesia dan Dunia Islam
Dalam kondisi seperti ini, dunia Islam—terutama Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar—punya peluang memainkan peran lebih nyata. Indonesia bisa mendorong pembentukan contact group internasional untuk krisis Iran-Israel, dengan fokus pada pencegahan perang dan perlindungan warga sipil.
Indonesia juga bisa menyuarakan pentingnya penghormatan terhadap hukum internasional, penghentian agresi Israel terhadap warga Palestina, serta pengakuan terhadap kedaulatan negara. Krisis Iran tak bisa dilepaskan dari konteks penjajahan Palestina yang belum selesai.
Jika Diplomasi Gagal…
Namun, mari bicara realistis. Jika dalam dua minggu ini tak ada kemajuan berarti, skenario terburuk sangat mungkin terjadi: Amerika ikut terjun ke dalam konflik militer besar. Ini bukan hanya soal rudal dan pesawat tempur. Ini soal dampak global—harga minyak melambung, ekonomi Eropa tertekan, dan ancaman terhadap stabilitas di Laut Cina Selatan ikut meningkat karena perhatian dunia teralihkan.
Lebih dari itu, serangan militer terhadap Iran bisa memicu respons dari kelompok proksi seperti Hizbullah, Houthi, bahkan kelompok bersenjata di Irak dan Suriah. Kawasan bisa meledak menjadi perang multidimensi yang melibatkan banyak aktor negara dan non-negara.
Dan siapa yang paling dirugikan? Rakyat sipil. Selalu.
Dunia Menunggu, Trump Memilih
Inilah dilema yang kini dihadapi Trump: memilih jalan yang paling menguntungkan secara politik—menyerang dan tampil “tegas”—atau memilih jalan damai yang tak populer tapi menyelamatkan dunia.
Sejauh ini, tampaknya Trump memilih untuk tidak gegabah. Tapi diplomasi bukan hanya soal menahan diri. Diplomasi adalah seni membangun solusi konkret sebelum waktu habis. Dan dalam konflik ini, waktu benar-benar terbatas.
Dunia menunggu, berharap bahwa dalam dua pekan ini, akal sehat akan menang. Bahwa ego kekuasaan dan dendam sejarah akan ditundukkan oleh kebijaksanaan dan rasa kemanusiaan.
Jika tidak, dunia akan kembali menyaksikan babak baru perang yang tak diinginkan siapa pun—kecuali mereka yang menjual senjata dan menari di atas puing-puing kemanusiaan.
Penutup
Diplomasi bukan tanda kelemahan. Ia adalah keberanian tertinggi untuk menyelamatkan umat manusia dari kuburan yang digali oleh ambisi dan kebencian. Dan jika Trump benar-benar ingin dikenang sebagai pembuat perdamaian, maka inilah waktunya. Karena dalam sejarah, kadang yang dibutuhkan hanya dua minggu untuk menyelamatkan satu abad dari bencana.
Penulis merupakan novelis
ikuti terus update berita rmoljatim di
google news